Tuesday, 20 July 2021

Menggali Dasar Islam Yang Ke-Dua (Kitab Bulughul Marom)

 Mata Pelajaran            : Hadist (Bulughul Marom)

Materi                          : Hadis ke 1-3

Pemateri                      : Ust.M. Najih, S.Pd.

TENTANG AIR – Hadits Ke-1

HADITS KE-1

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut.

“Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.”

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah.

Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi.

Malik, Syafi’i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

– At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””.

– Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam.

Kosa kata:

– Kata البَحْر (al-bahr /laut) adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin.

– Kata الطَهُوْرُ (at-thohur) adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

 

– Kata الحِلُّ (Al-hillu) yaitu halal, kebalikan haram.

– Kata مَيْتَتُهُ (maitatuhu), yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat.

Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut.

Faedah Hadits:

1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian.

Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.

2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.

3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.

4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.

6 Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.

7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).

8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah “dan halal bangkainya“), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.

9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

a.       Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

 

b.      Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya.

Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa

 

c.       Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS. Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”.

(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.

Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat.

 

 

 

 

 

 

Kitab Thaharah (Bersuci). BAB I : TENTANG AIR – Hadits Ke-2

HADITS KE-2

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya.”

Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih.

– Hadits ini juga dinamakan “hadits bi’ru bidho’ah“.

Imam Ahmad berkata, “hadits bi’ru bidho’ah ini shahih”.

– Imam At Tirmidzi berkata “hasan”.

– Abu Usamah menganggap hadits ini baik.

Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Sa’id dan selainnya dengan jalur lain.

– Disebutkan di dalam “at Talkhish”

bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Mu’in, dan Ibnu Hazm.

– Al-Albani berkata, “periwayat pada sanadnya adalah periwayat Bukhori dan Muslim kecuali Abdullah bin Rofi’.

Al Bukhori berkata, “keadaannya majhul”, akan tetapi hadits ini telah dishahihkan oleh imam-imam sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

– Hadits ini adalah hadits yang masyhur (dikenal) dan diterima oleh para imam.

– Syaikh Shodiq Hasan di kitab Ar-Raudah, “Telah tegak hujjah dengan pen-shahih-an oleh sebagian imam .

Telah dishahihkan juga (selain yang telah disebutkan di atas) oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, dll.

Walaupun Ibnul Qothon mencacati hadits ini dengan majhulnya riwayat dari Abu Sa’id, akan tetapi pencacatan oleh satu orang Ibnul Qothon tidak dapat melawan penshahihan oleh imam-imam besar (yang telah disebutkan di atas).

Kosa Kata:

– Kata طهور (Thohur), artinya suci substansinya dan dapat mensucikan selainnya.

– Kata لا ينجسه شيء (Laa yunajjisuhu syai-un) = tidak ada yang sesuatupun yang dapat menajiskannya.

Perkataan ini dimuqoyyad-kan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu bau, rasa, dan warna.

 

 

Kitab Thaharah (Bersuci). BAB I : TENTANG AIR – Hadits Ke-3

HADITS KE-3

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

 

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.”

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.

Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.”

Derajat Hadits:

– Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if.

Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya”

telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah (hadits 2).

– Adapun lafadz tambahan “kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”, Imam an Nawawi berkata, “para ahli hadits bersepakat atas ke-dho’if-an lafadz ini, karena di dalam isnadnya ada Risydain bin Sa’ad yang disepakati ke-dho’if-an-nya.

Akan tetapi, Ibnu Hibban di dalam shahihnya menukil adanya ijma’ ulama untuk mengamalkan maknanya.

Shodiq berkata di kitab Ar-Raudhoh, “Para ulama bersepakat terhadap dho’ifnya tambahan ini, akan tetapi ijma’ ulama mengakui kandungan maknanya”.

Faedah Hadits (2 dan 3):

1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya.

2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma’ umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho’if, tidak tegak hujjah dengannya, akan tetapi:

– Imam An-Nawawi berkata, “para ulama telah ijma’ terhadap hukum dari lafadz tambahan ini”.

– Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama ijma’ bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis).

– Ibnul Mulaqqin berkata, “terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi’i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya.

Syaikhul Islam berkata, “Apa yang telah menjadi ijma’ oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma’ kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash.

Sumber :

kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam

*Editor: Ahmad Asrori, S.H.

No comments:

Post a Comment