Mata Pelajaran :
Hadist (Bulughul Marom)
Materi :
Kitab As-siyam (Bab Puasa)
Pemateri :
Ust.M. Najih, S.Pd.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ:قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم:لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ
بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ, إِلاَّ رَجُلٌ كَانَيَصُومُ صَوْمًا,
فَلْيَصُمْهُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dia berkata, ‘Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallambersabda, “Jangan kalian mendahului Ramadan dengan
berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa
tertentu, maka hendaklah dia berpuasa.” (Muttafaq alaih)
Pemahaman danKesimpulan:
Para ulama menyimpulkan bahwa hadits ini mengandung pemahaman
larangan berpuasa sebelum bulan Ramadan sehari atau dua hari, jika tujuannya
hanya kehati-hatian saja (khawatir kalau Ramadan sudah masuk sementara diatidak
tahu).
Dikecualikan dari larangan ini adalah orang yang telah terbiasa
berpuasa pada hari itu, seperti puasa Senen Kamis, puasa pertengahan bulan.
Atau dia memiliki kewajiban puasa yang harus dia lakukan, seperti puasa
qadha,kafarat atau nazar. Berdasarkan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam (إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه) “Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa tertentu,
makahendaklah dia berpuasa.”
Di antara hikmah pelarangan dalam hadits ini adalah;
1) Tidak boleh melakukan
suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya, sebelum waktunya telah masuk
dengan jelas.
2) Ibadah yang sudah
ditentukan dengan jelas bilangan dan jumlahnya, tidak boleh ditambah dan
dikurangi.
3) Hendaknya ada jeda
yangjelas antara ibadah wajib dan ibadah sunah jika jenisnya sama.
Sebagaimanadalam shalat Fardhu, hendaknya ada jeda dengan shalat rawatib yang
dilakukan sebelum dan sesudahnya.
4) Hadits ini juga memberi
isyarat bahwa tidak selamanya sikap ihtiyath (hati-hati) itu baik. Khusunya
ihtiyat yang bersifat memberatkan dan dapat mengaburkan pengamalan ibadah.
وَعَنْ
عَمَّارِ بْنِيَاسِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي
يُشَكُّ فِيهِفَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم (وَذَكَرَهُاَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا,
وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ,وَابْنُ حِبَّانَ(
Dari Ammar bin Yasir, radhiallahu anhu, dia berkata, “Siapa yang
berpuasa pada hari yang diragukan (yaumusysyak), maka dia telah bermaksiat
kepada Abul-Qasim, shallallahu alaihi wa
sallam.”
Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan cara ta’liq/mu’allaq,
sementara perawiyang lima (Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
menyambung sanadnya. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Catatan:
Hadits mu’allaq (معلق) adalah hadits yang
tidak disebutkan rangkaian perawi pada awal sanadnya. Dalam hal ini Bukhari
dalam Kitab Shahihnya ketika mencantumkan hadits ini tidak menyebutkan
perawinya di awal sanadnya.
Pemahamandan Kesimpulan:
Yang dimaksud ‘Hari yang meragukan (yaum syak)’ adalah hari tanggal
30 bulan Sya’ban. Apabila menjelang maghrib tanggal 29 bulan Sya’ban, hilal
Ramadan tidak dapat terlihat karena mendung atau terhalang sesuatu, maka hari
tanggal 30 nya disebut hari syak (meragukan), apakah sudah masuk Ramadan atau
belum? Sebab ketika itu tidak jelas, apakah hilal Ramadan sesungguhnya telah
terbit, namun tidak terlihat karena mendung atau sebab lainnya, atau dia memang
benar-benar tidak muncul. Maka pada hari itu dihitung sebagai hari ketigapuluh
bulan Sya’ban. Seseorang tidak boleh berpuasa dengan niat puasa sunah ataupuasa
Ramadan. Kecuali, sebagaimana disebutkan hadits sebelumnya, orang yang terbiasa
puasa sunah pada hari itu atau yang memiliki kewajiban puasa.
Yang dimaksud dengan Abul-Qasim dalam hadits ini adalah Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam. Al-Qasim adalah putera Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dari perkawinannya dengan Khadijah yang meninggal sejak kecil.
Begitulah seterusnya kuniyah beliau dikenal.
Hadits ini mengandung kaidah fiqih yang cukup dikenal, yaitu (اليَقِينُ لاَ
يُزَالُبِالشَّكِّ) “Yang telah diyakini
tidak dapat dihilangkan dengankeraguan.” Bulan Sya’ban sudah diyakini
keberadaannya sejak sebelumnya, sedangkan Ramadan masih diragukan
kedatangannya. Maka, selagi kedatangan bulan Ramadan masih diragukan, hukumnya
kembali kepada yang masih diyakini, yaitu bulan Sya’ban yang tidak diwajibkan
berpuasa padanya.
Kasus yang sering dicontohkan para ulama terkait kaidah ini adalah
bahwa jika seseorang telah berwudhu di rumah, laludia pergi ke suatu tempat,
setibanya di sana timbul keraguan pada dirinya,apakah wudhunya batal atau
tidak? Maka dia pilih yang telah diyakini bahwa wudhunya tidak batal. Karena
yang diyakini adalah bahwa dirinya telah berwudhu, sedangkan batalnya masih
diragukan.
Demikian sekilas pembahasan dalam kitab tersebut. Semoga menjadi
menfaat bagi kita semua. Wallahu A’lamu bi Al-Showaab.
No comments:
Post a Comment