Mata Pelajaran : Hadist (Bulughul Marom)
Materi : HAdis ke 4-5
Pemateri : Ust. Ahmad Yazid,
S.Pd.I.
Hadits ke-4
وَعَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ
وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّان
Dari Abdullah bin Umar radhiyallau ‘anhuma, ia berkata:
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila air itu dua qullah
maka ia tidak mengandung kotoran”. Di dalam lafazh yang lain disebutkan: “Tidak
najis”. Diriwayatkan oleh Imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah,
al-Hakim dan Ibnu Hibban.
Pelajaran
Hadis Ini
1-Apabila air dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran yakni
tidak najis. Apakah hal ini berlaku umum? Disepakati bahwa ia tidak berlaku
umum. Karena jika berlaku umum maka secara tekstual bahwa air tersebut tidak
bisa najis baik berubah atau pun tidak berubah. Ini bertentangan dengan kesepakatan
ulama. Karena para ulama sepakat apabila air berubah karena najis maka air itu
najis. Dengan demikian ketentuan ini tidak berlaku umum.
2-Hadis ini memiliki mafhum (pengertian yang tersirat), bahwa
apabila air tidak mencapai dua kullah maka menadi najis, baik air itu berubah
ataupun tidak berubah. Dengan demikian mafhum ini bertentangan dengan hadis Abu
Umamah terdahulu yang menunjukkan bahwa air tidak najis kecuali karena
terjadinya perubahan. Dilalah hadis Abu Umamah yang menunjukkan bahwa air tidak
najis kecuali karena perubahan adalah dilalah manthuq (pengertian yang
tersurat) sedangkan dilalah hadis Ibnu Umar ini adalah dilalah mafhum (pengertian
yang tersirat).
3-Para ulama mengatakan: Apabila dilalah manthuq bertentangan
dengan dilalah mafhum maka dilalah manthuq didahulukan. Adapun mafhum
(pengertian yang tersirat) maka pengamalannya cukup dalam satu bentuk. Apabila
mafhum telah benar pengamalannya dalam satu bentuk maka hal itu sudah cukup.
Misalnya kita mengatakan bahwa mafhumnya apabila air tidak mencapai dua kullah
maka ia najis. Kemudian kita katakan: Ini berlaku umum baik berubah atau pun
tidak berubah. Maka cukuplah kita katakan bahwa ketentan itu berlaku apabila
air itu berubah. Dengan demikian kita telah mengamalkan mafhum hadis ini.
4-Dalam masalah ini seorang Muslim harus berhati-hati. Bila menurut
dugaan kuatnya bahwa najis telah memengaruhi air maka hendaklah ia berhati-hati
dan tidak menggunakannya kecuali karena keperluan yang mendesak. Tetapi bila
menurut dugaan kuatnya bahwa najis tidak memengaruhi air tersebut atau telah
mendapat kepastian bahwa najis tidak memengaruhinya maka ia tidak perlu ragu
untuk menggunakannya baik air itu sedikit ataupun banyak.
5-[Majlis Ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan keputusan (nomor 65
tanggal 25/10/1398 H) tentang air yang terkontaminasi berbagai najis apabila
diproses melalui berbagai sarana tehnologi kemudian najis itu hilang:
“Setelah melakukan penelitian, kajian dan diskusi maka Majlis
memutuskan sebagai berikut:
Berdasarkan apa yang disebutkan para ilmuwan bahwa air dalam jumlah
banyak yang berubah karena najis bisa menadi bersih apabila perubahannya itu
telah hilang dengan sendirinya, atau karena ditambahkan air bersih kepadanya,
atau perubahannya itu hilang karena lama menetap, atau karena pengaruh matahari
dan tiupan angin, atau karena hal lain, karena hilangnya hukum itu mengikuti
hilangnya ‘illat yang ada.
Karena air yang terkena najis itu bisa dibersihkan najisnya dengan
berbagai sarana, dan karena penjernhan dan pembersihannya dari berbagai najis
yang tercampur itu dilakukan melalui berbagai sarana tehnik modern dan canggih,
sehingga tidak diragukan tingkat kebenarannya bahkan diakui oleh para ahli di
bidangnya, maka Majlis berpendapat bahwa air tersebut telah menjadi bersih
setelah melalui proses penjernihan yang sempurna sehingga air itu kembali
kepada kondisinya yang semula, tidak terlihat adanya perubahan rasa, warna atau
pun baunya akibat terkena najis. Air ini boleh digunakan untuk menghilangkan
najis dan hadats sehingga dengannya bisa tercapai thaharah secara sempurna.
Sebagaimana air ini juga boleh diminun, kecuali apabila ada bahaya
yang ditimbulkan oleh penggunaannya. Bila masih mengandung bahaya maka dilarang
penggunaannya demi menjaga jiwa dan menghindari bahaya, bukan karena najis.
Wallahul muwaffiq”.
Demikian pula Lembaga Fiqh Islami di bawah naungan Rabithah Alam
Islami pada pertemuannya yang ke-11 yang diselenggarakan di Mekkah, 13 Rajab
1409 H – 20 Rajab 1409 H, menetapkan bahwa air pam yang telah dijernihkan
(biasanya melalui empat tahapan yaitu tarsib (pengendapan), tahwiyah
(peranginan atau ventilasi), pembunuhan kuman dan sterilisasi) sehingga tidak ada
lagi najis yang tersisa pada rasa, warna dan baunya, maka air tersebut menjadi
bersih dan boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats, berdasarkan
kaidah fiqh yang menetapkan bahwa air dalam jumlah banyak apabila terkena najis
lalu najis itu bisa dihilangkan dan tidak ada bekasnya maka air itu menjadi
bersih.
Hadits ke-5
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ
جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
لِلْبُخَارِيِّ
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ
يَغْتَسِلُ فِيهِ
وَلِمُسْلِمٍ
مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ
Dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kalian
mandi di air yang tergenang (tidak mengalir) ketika ia dalam keadaan junub”. Dalam
riwayat Bukhari disebutkan: “Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di
air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian ia mandi di dalamnya”. Dalam
riwayat Muslim disebutkan: “Darinya” (yakni kemudian mandi dari air itu di
luarnya). Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: “Dan janganlah ia mandi junub di
dalamnya”.
Pelajaran Hadis
Ini
1-Syari’at selalu menjaga kemaslahatan, karena orang junub yang
mandi di air yang tergenang dan tidak mengalir itu bisa mengotorinya dan akan
menyebabkan penyakit bagi dirinya dan orang lain.
2-Syari’at yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meliputi
semua aspek kehidupan dan mencakup semua kemaslahatan manusia baik di dunia
ataupun di akhirat. Tidak sebagaimana dikatakan sebagian orang bahwa syari’at
hanya mengatur urusan ibadah antara manusia dan Tuhan sedangkan urusan lainnya
diserahkan kepada manusia. Anggapan ini tidak benar bahkan dikhawatirkan
menyebabkan kekafiran terhadap sebagian syari’at dan mengimani sebagiannya.
3-Haram atau makruh mandi di dalam air yang tidak mengalir bagi
orang yang sedang dalam keadaan junub. Para ahli ushul berbeda pendapat tentang
larangan (yang tidak ditegaskan sebagai sesuatu yang diharamkan), apakah ia
bernilai haram atau makruh, atau mereka membedakan antara sesuatu yang
landasannya ibadah dan sesuatu yang landasannya adab dan kebersihan. Jika landasannya
ibadah maka larangan itu bernilai haram tetapi jika landasannya adab dan
kebersihan maka larangan itu bernlai makruh. Madzhab Malikiyah berpendapat
bahwa larangan ini bernilai makruh, karena air tersebut tetap bersih. Madzhab
Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa larangan ini bernilai haram. Sebagian
ulama berpendapat bahwa ia diharamkan bila airnya sedikit dan makruh bila
airnya banyak.
4-Riwayat Muslim melarang mandi di dalam air yang tergenang dengan
mencebur ke dalamnya dan mengambil air darinya lalu mandi di luarnya. Riwayat
Bukhari melarang kencing dan mandi di dalamnya. Riwayat Abu Dawud melarang
masing-masing dari keduanya secara terpisah. Kesimpulan dari semua riwaya ini
bahwa semuanya dilarang, karena kencing atau mandi di dalam air yang tergenang
(bagi orang yang junub) menyebabkan air tersebut menjadi kotor sekalipun tidak
menyebabkannya menjadi najis.
5-Boleh mandi di air yang tidak menggenang. Air yang tidak
menggenang ada dua macam: Pertama, air yang selalu mengalir seperti sungai dan
saluran air. Air ini bisa digunakan untuk bersuci, tanpa ada kemusykilan, bagi
orang yang junub atau tidak junub. Kemudian ia berniat mandi dan menceburkan
diri ke dalamnya. Tidak diragukan bahwa air yang mengenai badan adalah air yang
baru. Apakah setiap aliran air sudah cukup sebagai sekali mandi? Jawabnya, ya.
Setiap aliran air telah mencukupi untuk sekali mandi. Karena itu al-Muwaffiq
rahimahullah berkata di dalam al-Mughni: ‘Apabila seseorang menggerakkan
tangannya di dalam air tiga kali berarti ia telah mencucinya tiga kali”. Karena
air itu menjadi baru dengan gerakan tangan tersebut. Demikian pula air yang
mengalir, setiap aliran yang mengenai badan dianggap sekali mandi. Kedua, air
yang tidak tergenang tetapi diam dan akan dibuka setelah beberapa jam lalu
mengalir dan diganti dengan air yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa air ini
termasuk air yang mengalir.
6-Boleh mandi di air yang tergenang bagi orang yang tidak sedang
dalam keadaan junub, seperti mandi untuk membersihkan badan atau mandi sunnah,
misalnya orang yang baru siuman lalu mandi. Ini termasuk mandi sunnah. Tetapi
hal ini memerlukan rincian. Jika badan orang yang mandi tersebut banyak
mengandung kotoran dan bisa mengganggu orang, sekalipun tidak menceburkan diri
ke dalamnya, maka ia dilarang mandi di dalam air yang tergenang. Tetapi
kesimpulan ini kita ambil berdasarkan kaidah fiqhiyah, bukan berdasarkan hadis
ini, karena manusia tidak boleh mengganggu dan menyakiti kaum Muslimin.
7-Orang yang junub ialah orang yang wajib mandi karena telah
melakukan jima’ atau keluar mani. Orang yang melakukan jima’ sekalipun tidak
keluar mani tetap wajib mandi. Badan orang yang junub tidak najis. Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam di
jalan lalu Abu Hurairah menghindar dan segera mandi kemudian datang menemui
Nabi shalallahu alaihi wasallam. Nabi bertanya: “Kemana kamu tadi wahai Abu
Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Aku tadi junub sehingga aku tidak suka duduk
bersamamu dalam keadaan tidak suci”. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”.
8-Demikian pula dilarang buang air besar dan beristinja’ di dalam
air yang tergenang.
No comments:
Post a Comment