Mata Pelajaran : Shorof (Jurmiyah)
Materi : Pengertian Haal ( حال )
Pemateri : Ust. Ahmad Najih, S.Pd
Haal ialah isim Manshub yang menyatakan keterangan suasana yang samar. Adakalanya menjelaskan suasana fa’il. Seperti dalam misal :
جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا = Zaid sudah datang sambil berkendara
Lafazdh رَاكِبًا berkedudukan sebagai haal dari lafazdh جَاءَ , seperti yang ada di dalam firman Allah Swt, inilah :
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا = “ Maka keluarlah Musa dari kota tersebut ( Mesir ) dengan rasa takut”. ( Al-Qashash:21).
Lafazd خَٰائِفًا berkedudukan sebagai haal dari fa’il lafazdh خَرَجَ yang menjelaskan suasana Musa masa-masa keluarnya.
Atau menjelaskan suasana maf’ul, laksana dalam misal :
رَكِبْتُ الفَرْسَ مُسَرَّجًا = Aku sudah menunggang kuda sambil berpelana.
Lafazh مُسَرَّجًا Berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan suasana kuda waktu dipakai angkutan di atasnya. Dan laksana yang ada dalam firman Allah Swt. Berikut :
وَأرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا
“ Kami mengutusmu menjadi rasul untuk segenap manusia.”(An-Nisa:79)
Lafazh رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul huruf kaf yang ada pada lafazh وَاَرْسَلْنٰكَ.
Atau menyatakan kedua-duanya ( fa’il dan maf’ul ), Seperti dalam misal :
لَقَيْتُ عَبْدَاللَّهِ رَاكِبًا = Aku sudah bertemu Abdullah sambil berkendaraan.
Yang dimaksud sambil berkendaraan tersebut ialah aku atau Abdullah, atau kedua-duanya.
B. SYARAT- SYARAT HAAL DAN CONTOHNYA
1. Tidaklah terbentuk haal tersebut kecuali nakirah. Apabila terdapat haal dengan lafazh ma’rifat, maka me sti di-takwil-kan dengan lafazh nakirah, seperti misal :
جَاءَ زَيْدٌ وَحْدَهُ = Zaid sudah datang sendirian.
Taqdirnya ialah :
جَاءَ زَيْدٌ مُنْفَرِدًا = Zaid sudah datang sendirian
Keterangan :
Lafazh وَحْدَهُ Berkedudukan sebagai haal. Sekalipun lafazhnya menunjukan format ma’rifat, namun maknanya di takwil-kan nakirah. Bentuk lengkapnya ialah :
جَاءَ زَيْدٌ مُنْفَرِدًا = Zaid sudah datang sendirian.
2. Kebanyakan haal tersebut dalam format musytaq (terbentuk dari tasrif/pergantian bentuk), berakar dari mashdar, Misalnya : Lafazh رَاكِبًا Berakar dari lafazh رُكُوْبٌ (mashdar ) dan lafazh خَائِفًا berakar dari lafazh خَوْفٌ . Terkadang haal ada pula yang berbentuk jamid ( tidak musytaq ), namun berisi arti musytaq, laksana dalam contoh-contoh inilah :
بَدَتِ الجَارِيَةُ قَمَرًا = Anak perempuan tersebut tampak laksana bulan.
Yang dimaksud dengan bulan merupakan bercahaya.
بِعْتُهُ يَدًا بِيَدٍ= Aku telah memasarkan barang tersebut secara timbang terima.
Yang dimaksud dengan istilah timbang terima merupakan jual beli secara kontan.
وَادْخُلُوْا رَجُلًا رَجُلًا = Masuklah kalian seorang-seorang.
Yang dimaksud dengan seorang –seorang merupakan berurutan.
3. Tidaklah terbentuk haal tersebut kecuali me sti setelah sempurna kalam-nya, yaitu sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan arti bahwa lafazh haal tersebut tidak termasuk di antara dari kedua unsur lafazh jumlah, namun tidak pun yang dimaksud bahwa suasana kalam itu lumayan dari haal ( tidak memerlukan haal ) dengan berlandaskan firman Allah Swt :
وَلَاتَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا
“Dan janganlah anda berjalan di muka bumi ini dengan sombong”. (Al-Isra`:37)
rdapat shaibul haal ( Pelaku haal ) kecuali me sti dalam format ma’rifat, sebagaimana yang telah diajukan pada contoh-contoh tadi atau dalam format nakirah bila ada haal yang membolehkannya, yakni : Hendaknya haal melampaui nakirah. Hendaknya nakirah di-takhshish oleh idhafah dan hendaknya shahibul haal nakirah terletak setelah nafi. Contoh haal yang melampaui nakirah laksana :
فِي الدََارِ رَجُلٌ جَالِسًا = Didalam rumah tersebut ada seorang laki-laki sedang duduk.
Lafazh جَالِسًا berkedudukan sebagai haal dari lafazh رَجُلٌ . Contoh shahibul haal yang di-takhshish oleh idhafah laksana yang ada di dalam firman Allah Swt. Berikut :
فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً
“Dalam empat hari yang genap”. ( Fushshilat:10)
Lafazh سَوَٰاءً berkedudukan sebagai haal dari lafazh اَرْبَعَةِ .
Contoh lainnya merupakan firman Allah Swt :
وَمَا أَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنْذِرُونَ
“Dan kami tidak memusnahkan sesuatu negeri pun, tetapi sesudah terdapat baginya orang-orang yang memberi peringatan”, (Asy-Syu’ra:208)
Lafazh لَهَامُنْذِرُوْنَ ialah jumlah ismiyyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafazh قَرْيَةٍ .
5. Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dirasakan sah sebab ada huruf nafi yang mendahuluinya.
Dan qiraat (bacaan) beberapa mereka (ulama) lafazh مُصَدِّقًا pada ayat inilah bacaanya dengan nashab, yakni :
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ
“Dan sesudah datang untuk mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan”. (Al-Baqarah:89)
Lafazh مُصَدِّقًا berkedudukan sebagai haal dari lafazh كِتَابٌ yang nakirah sebab di-takhshish oleh zharaf, yakni : عِنْدِاللّٰهِ مِنْ.
Haal (الحال) itu ada yang berbentuk zharaf, laksana dalam misal :
رَأيْتُ الهِلاَلَ بَيْنَ السَحَابِ= Aku telah menyaksikan bulan di antara awan.
Lafazh بَيْنَ ialah zharaf makanan yang berkedudukan sebagai haal dari lafazh الْهِلَالَ .
Ada pun yang berbentuk jar dan majrur, laksana yang ada di dalam firman Allah Swt . inilah ini :
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ
“Maka keluarlah karun untuk kaumnya dalam kemegahannya”.(Al-Qashash:79)
Lafazh زِيْنَتِهِ فِيْ berkedudukan sebagai haal dari dhamir yang terdapat di dalam lafazh خَرَجَ .
Ada pula yang berbentuk jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang sehubungan dengan wawu dan dhamir (sekaligus). Contohnya laksana yang ada di dalam firman Allah Swt. Berikut ini :
خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ
“ Mereka tersebut keluar dari dusun halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya)”. (Al-Baqarah:243)
Jumlah atau kalimat وَهُمْ أُلُوفٌ berkedudukan sebagai haal dari fa’il lafazh خَرَجُوْا
yang sehubungan dengan dhamir saja, laksana yang ada di dalam firman Allah Swt inilah :
اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ
“Turunlah kamu! Sebahagiaan kalian menjadi musuh untuk yang lain”. (Al-Baqarah:36)
Lafazh بَعْضُكُمْ berkedudukan menjadi mubtada dan lafazh عَدُوٌّ menjadi khabar-nya, sementara lafazh لِبَعْضٍ sehubungan dengan khabar dan jumlah mubtada dan khabar menjadi haal dari fa’il lafazh اِهْبِطُوْا , yakni lafazh أَنْتُمْ yang tersimpan.
Atau sehubungan dengan wawu (saja), laksana yang ada di dalam firman Allah Swt inilah :
لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْب وَنَحْنُ عُصْبَة
“Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami kelompok (yang kuat)”. (Yusuf:14)
Jumlah atau kalimat عُصْبَةٌ وَنَحْنُ berkedudukan sebagai haal dari lafazh الذِّئْبُ yang sehubungan dengan wawu saja.
Kata Nazhim :
الحَالُ وَصْفٌ ذُو انْتِصَابٍ آتِي مُفَسِّرٌ لِمُبْهَمِ الهَيْئَاتِ
Haal ialah washf (sifat) yang di nashob-kan yang bermanfaat menjelaskan suasana yang samar.
وَإِنَّمَا يُؤْتَى بِهِ مُنْكَّرَا وَغَالِباً يُؤْتَى بِهِ مُؤَخَّرًا
Sesungguhnya eksistensi haal tersebut dinakirahkan dan pada ghaib-nya ( Umumnya ) diakhirkan (letaknya).
No comments:
Post a Comment