Mata Pelajaran : Hadis (Bulughul Marom)
Materi : Puasa bagi musafir
Pemateri : Usth. Siti Khoerun Nisa, S.Pd
Dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu
'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat shaum dalam
perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil
keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk shaum, maka ia
tidak berdosa." Riwayat Muslim Dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim
dari hadits 'Aisyah bahwa Hamzah Ibnu Amar bertanya.
Ada banyak kondisi yang memperbolehkan
seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah ketika sedang dalam
perjalanan.
Hal tersebut seperti dijelaskan dalam
Surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi: "...Barangsiapa yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu."
Keringanan itu dalam istilah fikih disebut
dengan rukhsah, yaitu keringanan dalam beribadah yang diakibatkan oleh kondisi
tertentu. Artinya, jika seseorang merasa tak kuat untuk melanjutkan puasa, maka
ia diperkenankan untuk berbuka atau tidak puasa. Sebaliknya, jika ia mampu
melanjutkan puasa meski dalam perjalanan, ia pun diperbolehkan untuk berpuasa.
Namun, apakah keringanan seorang musafir itu berluka untuk semua tanpa ada
ketentuan khusus?
Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Pendidikan
Islam IAIN Surakarta Prof Toto Suharto mengatakan, keringanan seorang musafir
untuk membatalkan puasa harus memenuhi beberapa ketentuan.
Ketentuan pertama adalah berdasarkan jenis
perjalanan. Menurutnya, jika perjalanan tersebut bukan untuk melakukan maksiat.
Kedua adalah jarak (masafah). Toto mengatakan
ada perbedaan soal ketentuan ini. Sebab, pada zaman Rasulullah SAW ketentuan
jarak ini diukur berdasarkan waktu. Namun, saat ini ulama tolak ukurnya
berdasarkan jarak, yaitu sekitar 80 kilometer. "Kalau sekarang, ulama
fikih khususnya menurut madzab Syafii itu menentukannya memakai jarak, yaitu
sekitar 80 kilometer," jelas dia. Artinya kalau perjalanannya di atas 80
kilometer, maka ia diperbolehkan untuk berbuka.
Ketentuan terakhir adalah perjalanannya
dilakukan sebelum terbit fajar atau dari waktu malam. "Kalau menurut
madzab Syafii, sudah subuh atau pagi hari, meskipun jaraknya jauh sebaiknya
tidak berbuka puasa," tuturnya. Toto menegaskan bahwa ketentuan rukhsah
tersebut bergantung pada orang yang melakukannya, apakah ia mampu dan kuat
untuk menjalani puasa atau tidak.
Cara Qadha Puasa?
Musafir yang meninggalkan puasanya karena
urusan perjalanan, wajib menggantinya di lain hari di luar Ramadan. Kewajiban mengganti
puasa (qadha puasa) disunahkan segera ditunaikan selepas Ramadan berakhir. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 61: “Mereka itu
bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang
segera memperolehnya.” Menyegerakan qadha puasa disunahkan karena seorang hamba
sebaiknya segera melunasi hutang ibadahnya kepada Allah. Sebab, ia tidak tahu
kapan maut akan menjemput. Kendati demikian, sebenarnya melaksanakan qodho
dibolehkan untuk ditunda jika ada hajat atau urusan lain. Qadha dapat dilakukan
mulai dari bulan Syawal hingga bulan Syaban, asalkan belum masuk Ramadan
berikutnya.
No comments:
Post a Comment