Friday, 8 October 2021

Bulughul Marom - Puasa bagi musafir

 Mata Pelajaran           : Hadis (Bulughul Marom)

Materi                        : Puasa bagi musafir

Pemateri                      : Usth. Siti Khoerun Nisa, S.Pd


Dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat shaum dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk shaum, maka ia tidak berdosa." Riwayat Muslim Dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim dari hadits 'Aisyah bahwa Hamzah Ibnu Amar bertanya.

Ada banyak kondisi yang memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah ketika sedang dalam perjalanan.

Hal tersebut seperti dijelaskan dalam Surat  Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi: "...Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu."

Keringanan itu dalam istilah fikih disebut dengan rukhsah, yaitu keringanan dalam beribadah yang diakibatkan oleh kondisi tertentu. Artinya, jika seseorang merasa tak kuat untuk melanjutkan puasa, maka ia diperkenankan untuk berbuka atau tidak puasa. Sebaliknya, jika ia mampu melanjutkan puasa meski dalam perjalanan, ia pun diperbolehkan untuk berpuasa. Namun, apakah keringanan seorang musafir itu berluka untuk semua tanpa ada ketentuan khusus?

Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Pendidikan Islam IAIN Surakarta Prof Toto Suharto mengatakan, keringanan seorang musafir untuk membatalkan puasa harus memenuhi beberapa ketentuan.

Ketentuan pertama adalah berdasarkan jenis perjalanan. Menurutnya, jika perjalanan tersebut bukan untuk melakukan maksiat.

Kedua adalah jarak (masafah). Toto mengatakan ada perbedaan soal ketentuan ini. Sebab, pada zaman Rasulullah SAW ketentuan jarak ini diukur berdasarkan waktu. Namun, saat ini ulama tolak ukurnya berdasarkan jarak, yaitu sekitar 80 kilometer. "Kalau sekarang, ulama fikih khususnya menurut madzab Syafii itu menentukannya memakai jarak, yaitu sekitar 80 kilometer," jelas dia. Artinya kalau perjalanannya di atas 80 kilometer, maka ia diperbolehkan untuk berbuka.

Ketentuan terakhir adalah perjalanannya dilakukan sebelum terbit fajar atau dari waktu malam. "Kalau menurut madzab Syafii, sudah subuh atau pagi hari, meskipun jaraknya jauh sebaiknya tidak berbuka puasa," tuturnya. Toto menegaskan bahwa ketentuan rukhsah tersebut bergantung pada orang yang melakukannya, apakah ia mampu dan kuat untuk menjalani puasa atau tidak.

Cara Qadha Puasa?

Musafir yang meninggalkan puasanya karena urusan perjalanan, wajib menggantinya di lain hari di luar Ramadan. Kewajiban mengganti puasa (qadha puasa) disunahkan segera ditunaikan selepas Ramadan berakhir. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 61: “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” Menyegerakan qadha puasa disunahkan karena seorang hamba sebaiknya segera melunasi hutang ibadahnya kepada Allah. Sebab, ia tidak tahu kapan maut akan menjemput. Kendati demikian, sebenarnya melaksanakan qodho dibolehkan untuk ditunda jika ada hajat atau urusan lain. Qadha dapat dilakukan mulai dari bulan Syawal hingga bulan Syaban, asalkan belum masuk Ramadan berikutnya.





No comments:

Post a Comment